Jakarta (pilar.id) – Google kembali menjadi sorotan setelah Departemen Kehakiman Amerika Serikat (DOJ) mengeluarkan keputusan terkait dugaan praktik monopoli dalam layanan pencarian internet.
Dalam pernyataannya, DOJ menilai Google telah menyalahgunakan dominasinya di pasar pencarian online.
Tanggapan Google: Persaingan Masih Ketat
Menanggapi keputusan tersebut, Google menegaskan bahwa putusan DOJ tidak mencerminkan kondisi sebenarnya. Raksasa teknologi asal Mountain View itu menolak anggapan bahwa mereka memonopoli pasar pencarian.
Menurut Google, persaingan di ranah pencarian informasi semakin beragam, bukan hanya dengan mesin pencari tradisional seperti Microsoft Bing dan DuckDuckGo, tetapi juga dengan platform media sosial seperti TikTok dan Instagram, yang kini menjadi sumber pencarian populer di kalangan pengguna muda.
“Persaingan begitu ketat dan pengguna memiliki banyak pilihan layanan. Kami tidak memonopoli pasar pencarian,” tulis Google dalam pernyataannya.
Keputusan Pengadilan di AS
Dalam kasus antimonopoli yang diajukan DOJ sejak 2020, pengadilan memutuskan bahwa Google memang bertindak sebagai monopolis dalam distribusi layanan pencarian.
Kendati demikian, hakim tidak memerintahkan Google menjual produk besar seperti Chrome atau Android.
Sebagai gantinya, pengadilan mewajibkan Google:
- Menghentikan kontrak eksklusif yang memprioritaskan produk mereka sendiri.
- Membatasi distribusi layanan pencarian agar tidak menghalangi pesaing.
- Membuka akses data pencarian kepada perusahaan lain.
Google menyebut kewajiban berbagi data pencarian dengan pesaing berpotensi menimbulkan risiko privasi bagi pengguna. “Kami sedang mengkaji keputusan ini dengan cermat. Fokus kami tetap pada membangun produk inovatif yang dipilih dan disukai pengguna,” tulis Google.
Kasus Lain yang Membelit Google
Selain kasus pencarian, Google juga menghadapi tuntutan lain di Amerika Serikat. DOJ menggugat perusahaan itu terkait dugaan monopoli dalam bisnis iklan digital.
Dalam putusan terpisah, pengadilan menyatakan Google memang telah membentuk dominasi ilegal di pasar periklanan online.
Di Indonesia, Google juga tidak luput dari masalah hukum. Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) menjatuhkan denda Rp202,5 miliar kepada Google karena dinilai melakukan praktik monopoli lewat sistem pembayaran Google Play Billing.
Skema tersebut mewajibkan pengembang aplikasi menggunakan metode pembayaran milik Google, yang dinilai merugikan pelaku usaha lain.
Realitas Persaingan di Era AI
Google menilai keputusan pengadilan AS kurang memperhitungkan perkembangan teknologi terbaru, terutama dengan hadirnya kecerdasan buatan (AI). Menurut mereka, AI telah memberikan banyak cara baru bagi pengguna untuk menemukan informasi, sehingga persaingan semakin terbuka.
“Sejak kasus ini diajukan pada 2020, industri telah berubah secara signifikan karena kemunculan AI. Inilah alasan kami tidak sepakat dengan putusan pengadilan,” kata Google.
Meski terus menyangkal tuduhan monopoli, Google kini menghadapi berbagai pembatasan hukum yang dapat mengubah cara perusahaan ini mengelola bisnis pencarian dan iklannya.
Bagi regulator, langkah tersebut penting untuk menjaga persaingan yang sehat di pasar digital. Namun bagi Google, keputusan itu berpotensi menghambat inovasi dan menimbulkan risiko bagi privasi pengguna.
Bagaimanapun, kasus ini menegaskan bahwa dominasi raksasa teknologi seperti Google akan terus berada dalam pengawasan ketat otoritas persaingan usaha di berbagai negara. Apa yang akan terjadi selanjutnya, kita lihat saja nanti. (hdl)