Sanae Takaichi Menghitung Waktu jadi Perdana Menteri Perempuan Pertama Partai LDP Jepang

4 weeks ago 34

Tokyo (pilar.id) – Jepang kembali menjadi sorotan internasional setelah Sanae Takaichi terpilih sebagai presiden Partai Liberal Demokrat (LDP), menjadikannya perempuan pertama yang memimpin partai konservatif paling berkuasa di negeri itu.

Kemenangan Takaichi membuka jalan baginya untuk menjadi perdana menteri Jepang berikutnya, sekaligus memunculkan perdebatan tentang masa depan kesetaraan gender di negara yang masih didominasi budaya patriarki.

Takaichi, yang dikenal sebagai pengagum mantan Perdana Menteri Inggris Margaret Thatcher dan penerus visi konservatif Shinzo Abe, jarang menyinggung isu gender selama kampanye. Namun setelah resmi menjabat, ia mengatakan, “Kini ketika LDP memiliki presiden perempuan pertama, pemandangannya akan sedikit berubah.”

Meski begitu, banyak pengamat menilai perubahan yang dimaksud Takaichi belum tentu membawa angin segar bagi perempuan Jepang.

Jejak Politik Panjang dan Pandangan Konservatif

Lahir di Prefektur Nara, Takaichi memulai karier politiknya pada 1993. Ia pernah menduduki sejumlah jabatan penting, seperti Menteri Urusan Dalam Negeri, Menteri Keamanan Ekonomi, hingga Menteri Kesetaraan Gender. Namun, sikap politiknya kerap dinilai terlalu konservatif dan sejalan dengan pandangan elite pria di tubuh LDP.

Takaichi juga dikenal sebagai tokoh yang mendukung penguatan militer Jepang, perluasan belanja fiskal untuk pertumbuhan ekonomi, promosi energi nuklir, hingga kebijakan imigrasi yang lebih ketat. Ia bahkan dijuluki “Elang Asia Timur” karena sikap kerasnya terhadap Tiongkok dan Korea Selatan, serta kebiasaannya mengunjungi Kuil Yasukuni—simbol kontroversial masa lalu militer Jepang.

Gaya Kepemimpinan dan Kontroversi Work-Life Balance

Dalam pidato perdananya setelah terpilih, Takaichi menyerukan agar semua anggota partai “bekerja seperti kuda” demi membangun kembali kepercayaan publik. Ia bahkan menegaskan, “Saya akan meninggalkan istilah work-life balance. Saya akan bekerja, bekerja, dan bekerja.”

Pernyataan itu langsung menjadi perbincangan panas di media sosial Jepang. Sebagian masyarakat memuji semangat kerjanya, namun tak sedikit pula yang menganggap pernyataannya mencerminkan budaya kerja berlebihan yang telah lama dikritik di Jepang.

Janji Perempuan di Kabinet dan Realita Politik

Takaichi berjanji akan menambah jumlah menteri perempuan di kabinetnya. Namun para analis politik meragukan sejauh mana komitmen tersebut bisa diwujudkan. “Ia harus menunjukkan loyalitas kepada para senior laki-laki di partainya. Jika tidak, kepemimpinannya bisa berumur pendek,” kata seorang pengamat politik di Tokyo.

Saat ini, perempuan hanya mencakup sekitar 15 persen dari anggota majelis rendah Jepang, dan hanya dua dari 47 gubernur prefektur adalah perempuan. Dengan realitas semacam ini, langkah Takaichi menjadi ujian penting bagi masa depan representasi politik perempuan di Jepang.

Antara Kemajuan dan Kontradiksi

Meski mengaku mendukung dukungan finansial bagi kesehatan dan kesuburan perempuan, Takaichi tetap menolak sejumlah reformasi progresif seperti pernikahan sesama jenis, pewarisan takhta bagi perempuan di keluarga kekaisaran, dan penggunaan nama keluarga terpisah setelah menikah.

Ia juga pernah berbicara terbuka tentang pengalamannya menghadapi gejala menopause, menekankan pentingnya edukasi bagi laki-laki agar memahami kesehatan perempuan. Meski langkah ini dinilai positif, banyak pihak melihatnya sebagai bagian dari narasi tradisional yang tetap menempatkan perempuan pada peran domestik.

Tantangan ke Depan

Kemenangan Sanae Takaichi menandai momen bersejarah dalam politik Jepang, tetapi juga menghadirkan paradoks: seorang perempuan memimpin partai yang sering dianggap sebagai hambatan utama bagi kemajuan perempuan itu sendiri. Dengan pandangan konservatifnya dan tekanan dari elite partai, masa depan kesetaraan gender di bawah kepemimpinannya masih menjadi tanda tanya besar.

Apakah Takaichi akan mencatat sejarah sebagai simbol perubahan nyata, atau justru memperkuat tradisi patriarki yang telah mengakar dalam politik Jepang? Waktu yang akan menjawabnya. (ret/hdl)

Read Entire Article
Bansos | Investasi | Papua | Pillar |