Harga Bitcoin Tembus Rekor Tertinggi Rp 1,81 Miliar, Ini Faktor Pendorongnya

1 week ago 26

Jakarta (pilar.id) – Harga Bitcoin kembali mencetak rekor tertinggi sepanjang masa (All-Time High/ATH) setelah menembus level US$111.000 atau sekitar Rp1,81 miliar pada perdagangan Kamis (22/5).

Lonjakan lebih dari 3,5 persen dalam 24 jam terakhir ini dipicu oleh kombinasi kuat dari arus masuk dana institusional, perkembangan regulasi positif di Amerika Serikat, dan tekanan likuidasi besar-besaran dari posisi short.

Pada Selasa (21/5), dana yang masuk ke ETF Bitcoin spot mencapai US$667 juta, didominasi oleh iShares Bitcoin Trust (IBIT) milik BlackRock, yang kini mengelola lebih dari 625.000 BTC.

Momentum ini juga diperkuat oleh kemajuan pembahasan RUU GENIUS Act di Senat AS, yang memberikan kepastian regulasi terhadap stablecoin dan memperkuat kepercayaan pasar terhadap adopsi aset kripto secara luas.

Institusi Besar Perkuat Tren Bullish

Perusahaan MicroStrategy turut menyokong reli harga Bitcoin dengan pembelian senilai US$1,34 miliar, menambah 13.390 BTC ke dalam portofolionya.

Aksi ini berdampak pada turunnya cadangan Bitcoin di bursa ke titik terendah dalam beberapa tahun terakhir—mengindikasikan pengetatan suplai di pasar spot.

Dari sisi teknikal, menurut Fyqieh Fachrur, analis dari Tokocrypto, Bitcoin kini diperdagangkan di atas semua rata-rata pergerakan utama, dengan indikator RSI berada di level 76,07. Meskipun menunjukkan kondisi overbought, tren masih stabil dan bullish.

Indikator MACD juga menguatkan arah kenaikan, dengan resistensi berikutnya diprediksi di kisaran US$113.335 atau sekitar Rp1,85 miliar.

“Lonjakan harga ini bukan sekadar euforia. Kuatnya akumulasi institusional dan minimnya tekanan jual dari investor jangka panjang memberikan fondasi yang solid bagi tren naik ini,” ujar Fyqieh.

Short Seller Kocar-Kacir, Pasar Spot Semakin Solid

Sekitar 66 persen dari total likuidasi pasar dalam 24 jam terakhir berasal dari posisi short, dengan total nilai mencapai US$451 juta. “Banyak trader salah arah. Meski tekanan beli tinggi, harga tetap stabil di atas US$109.000—ini menunjukkan kekuatan pasar spot saat ini,” tambahnya.

Dari sisi makroekonomi, naiknya imbal hasil obligasi AS tenor 20 tahun ke level 5,047 persen turut mendorong investor mencari alternatif lindung nilai, salah satunya Bitcoin.

Data on-chain menunjukkan bahwa sebanyak 8.511 BTC milik investor jangka panjang (3–5 tahun) mulai berpindah ke cold wallet baru, tetapi tidak masuk ke bursa, yang mengisyaratkan minimnya potensi tekanan jual.

Sentimen Pasar Positif, Dominasi Bitcoin Meningkat

Indeks Crypto Fear & Greed melonjak ke angka 73 (Greed), mencerminkan optimisme pelaku pasar. Sementara itu, dominasi pasar Bitcoin meningkat menjadi 63,34 persen, menunjukkan pergeseran minat dari altcoin ke aset utama ini.

Sell in May Tidak Berlaku untuk Kripto?

Menanggapi pola musiman Sell in May and Go Away yang lazim di pasar saham, Fyqieh menyatakan bahwa tren tersebut tidak berlaku untuk kripto di tahun ini.

Salah satu faktornya adalah korelasi positif antara harga Bitcoin dan suplai uang global (M2) yang terus meningkat.

“Secara historis, Bitcoin mencatatkan rata-rata imbal hasil bulanan lebih dari 7,9 persen di bulan Mei dalam 12 tahun terakhir. Arus masuk besar-besaran ke ETF spot juga menjadi sinyal kuat bahwa investor melihat potensi jangka panjang Bitcoin masih sangat terbuka,” pungkasnya. (hdl)

Read Entire Article
Bansos | Investasi | Papua | Pillar |