Thunderbolts, Napas Segar Marvel yang Tawarkan Aksi Anti-Hero Sarat Emosi dan Komedi

1 week ago 22

Jakarta (pilar.id) – Sejak perilisan Avengers: Endgame pada 2019, semangat sinematik Marvel Cinematic Universe (MCU) seolah memasuki fase baru yang tidak lagi didominasi oleh deretan film blockbuster yang saling terhubung.

Kini, alih-alih menghadirkan cerita kolosal yang penuh efek visual dan karakter dewa super, Marvel mulai melirik pendekatan yang lebih membumi dan segar—dan Thunderbolts adalah salah satu contohnya.

Disutradarai Jake Shreier dengan naskah dari Eric Pearson dan Joanna Calo, Thunderbolts mengambil jarak dari pola naratif Infinity Saga dan menghadirkan kisah tentang para mantan agen rahasia yang terbuang.

Film ini menampilkan kelompok anti-hero seperti Yelena (Florence Pugh), Red Guardian (David Harbour), Winter Soldier (Sebastian Stan), John Walker (Wyatt Russell), Bob (Lewis Pullman), dan Ghost (Hannah John-Kamen). Mereka adalah para karakter bermasalah yang disatukan oleh situasi tak terduga dan rasa bersalah atas masa lalu mereka.

Salah satu kekuatan utama Thunderbolts terletak pada pendekatannya yang lebih intim dan komedi. Para karakter bukanlah pahlawan super tak terkalahkan—beberapa bahkan bisa mati hanya karena peluru.

Justru itulah yang membuat mereka terasa lebih manusiawi dan relevan. Film ini juga mengeksplorasi trauma dan rasa bersalah secara menyentuh, tanpa kehilangan sisi hiburan dari adegan laga dan candaan cerdas.

Florence Pugh tampil luar biasa sebagai Yelena. Karismanya menjadi pusat gravitasi film ini, dengan kemampuan akting yang seimbang antara komedi dan emosi mendalam.

Dinamika antara Yelena dan Red Guardian menyuguhkan perpaduan humor dan kehangatan yang langka ditemukan dalam film superhero pasca-Endgame.

Tokoh antagonis utama, Valentina Allegra de Fontaine (Julia Louis-Dreyfus), menjadi benang merah yang menyatukan cerita. De Fontaine adalah sosok manipulatif yang memaksa para karakter utama saling melindungi untuk bertahan hidup dari persekongkolan yang ingin menghapus jejak masa lalu mereka.

Meski sebagian besar latar belakang karakter berasal dari film dan serial Marvel terdahulu, seperti The Falcon and the Winter Soldier, Thunderbolts tetap bisa dinikmati penonton awam karena alurnya yang padat, fokus, dan tanpa banyak lompatan lokasi seperti film MCU sebelumnya.

Dibanding film seperti Eternals dan The Marvels yang cenderung gagal membangun koneksi emosional, Thunderbolts hadir dengan energi berbeda: lebih jujur, lebih sederhana, namun sarat makna. Bahkan, gaya visualnya yang sedikit “berantakan” justru memperkuat karakter para tokoh sebagai sosok anti-hero yang terpinggirkan.

Penutup film ini mungkin tidak seambisius pertarungan klimaks khas Marvel, namun cukup unik dengan sentuhan visual yang mengingatkan pada film-film eksperimental seperti Being John Malkovich dan Eternal Sunshine of the Spotless Mind. Semua itu dikemas dalam naskah yang tajam, penyuntingan rapi, dan penampilan pemain yang solid.

Di tengah tantangan MCU pasca-Endgame, Thunderbolts menjadi bukti bahwa Marvel masih mampu mengejutkan dengan pendekatan yang lebih kecil namun penuh hati. Dan mungkin, di situlah kekuatan barunya berada. (ret/hdl)

Read Entire Article
Bansos | Investasi | Papua | Pillar |