
Surabaya (pilar.id) — Ketegangan geopolitik antara Amerika Serikat dan Iran kembali menguji stabilitas ekonomi global.
Sebuah laporan mengungkap analisis Oxford Economics yang memproyeksikan tiga skenario dampak konflik: dari deeskalasi, penghentian total produksi minyak Iran, hingga skenario terburuk berupa penutupan Selat Hormuz—jalur vital 20% pasokan minyak global.
Lonjakan Harga Minyak Dunia Ancam APBN 2025
Pakar Ekonomi Internasional dari FEB Universitas Airlangga, Dr. Unggul Heriqbaldi, SE, MSi, MAppEc, menilai bahwa gejolak tersebut berdampak langsung terhadap Indonesia sebagai negara pengimpor minyak. Sejak 13 Juni 2025, harga minyak mentah Brent melonjak 13% menjadi USD 79 per barel, sementara WTI naik 10%.
“Jika konflik terus meningkat, apalagi dengan disetujuinya penutupan Selat Hormuz oleh parlemen Iran, harga minyak bisa menembus USD 100 per barel,” ujar Dr. Unggul.
Situasi ini berpotensi mengguncang struktur Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2025, yang saat ini mengasumsikan harga minyak di kisaran USD 80–85 per barel. Ketergantungan pada impor minyak dan LPG dapat memicu lonjakan biaya subsidi energi yang signifikan.
Risiko Fiskal, Inflasi, dan Krisis Utang Luar Negeri
Lebih lanjut, Dr. Unggul menjelaskan bahwa konflik AS-Iran juga bisa memicu tekanan nilai tukar, menghambat aliran investasi asing langsung (FDI), dan memperbesar risiko krisis utang luar negeri, terutama bagi negara berkembang seperti Indonesia.
“Dengan eksposur utang luar negeri yang tinggi dan impor energi yang besar, Indonesia sangat rentan. Jika bank sentral negara maju menaikkan suku bunga karena inflasi energi, maka beban pembayaran utang Indonesia juga ikut meningkat,” tegasnya.
Ia mencontohkan krisis yang terjadi di Sri Lanka dan Pakistan sebagai gambaran nyata dari dampak kombinasi tekanan nilai tukar dan lonjakan suku bunga internasional terhadap negara dengan cadangan devisa terbatas.
Reformasi Energi Jadi Jalan Keluar
Meski menimbulkan tekanan besar, kondisi ini menurut Dr. Unggul juga membuka ruang reflektif dan menjadi momentum penting untuk reformasi struktural. Ia mendorong pemerintah untuk memperkuat ketahanan domestik melalui strategi jangka menengah dan panjang, khususnya di sektor energi dan perlindungan sosial.
Saat ini, kebutuhan minyak Indonesia mencapai 1,6 juta barel per hari, namun kapasitas produksi domestik hanya sekitar 600 ribu barel. Sisanya harus dipenuhi dari impor. Oleh karena itu, ia menyarankan percepatan lifting minyak, efisiensi kilang, serta hilirisasi sektor energi.
Selain itu, ia menegaskan pentingnya memperluas bauran energi nasional melalui pengembangan energi baru dan terbarukan (EBT).
“Diversifikasi energi tidak hanya memperkuat ketahanan, tapi juga mendukung dekarbonisasi. Pemerintah perlu mempercepat insentif investasi dan pembangunan infrastruktur EBT,” pungkasnya. (hdl)