Jakarta (pilar.id) – Tagar #JusticeFor tengah menjadi tren di berbagai platform media sosial. Tak sekadar simbol solidaritas, tagar ini menjadi cermin kekecewaan publik terhadap proses penegakan hukum yang dianggap tidak adil.
Banyak kasus yang melibatkan keluarga atau kerabat pejabat justru berjalan lambat, tertutup, dan tak jarang berakhir tanpa kejelasan.
Fenomena ini menjadi perhatian kalangan akademisi, termasuk Amira Paripurna, S.H., LL.M., Ph.D., Dosen Fakultas Hukum Universitas Airlangga, yang menyebut adanya pola-pola tertentu saat proses hukum mengalami intervensi.
Minim Transparansi Jadi Ciri Awal
Menurut Amira, salah satu ciri utama intervensi hukum adalah kurangnya transparansi dalam proses penanganan kasus.
“Informasi perkembangan perkara sering tidak dibuka ke publik. Penyelidikan bisa berlarut-larut tanpa alasan jelas. Bahkan, alat bukti penting seperti CCTV atau hasil visum bisa hilang atau tidak diakui,” jelasnya.
Ia menambahkan bahwa dalam beberapa kasus, penetapan tersangka tidak segera dilakukan meskipun bukti awal sudah cukup. Di era digital saat ini, muncul pula narasi tandingan yang terkadang justru menyudutkan korban, bukan pelaku.
Keterbatasan Komisi Negara dalam Mewujudkan Keadilan
Masyarakat kerap berharap pada lembaga negara seperti Komnas HAM atau Komisi Yudisial untuk menjadi solusi. Namun, menurut Amira, kewenangan lembaga-lembaga ini bersifat terbatas.
“Rekomendasi mereka tidak memiliki daya paksa dan mereka tidak bisa membatalkan putusan hukum ataupun memaksa lembaga lain,” ujarnya.
Meski begitu, lembaga-lembaga tersebut tetap penting sebagai alat kontrol moral dan sosial terhadap integritas penegakan hukum. Komnas HAM misalnya, bisa menyelidiki pelanggaran hak asasi manusia dalam proses hukum, terutama bila terjadi penyiksaan, diskriminasi, atau intimidasi terhadap korban.
Kampus sebagai Jembatan Akses Keadilan
Tak hanya lembaga negara, perguruan tinggi juga memiliki peran strategis dalam menjaga integritas hukum. Amira menegaskan bahwa universitas dapat menjadi jembatan akses keadilan, terutama bagi kelompok rentan.
Bentuk kontribusi kampus dapat berupa:
- Penyuluhan hukum (legal literacy)
- Layanan konsultasi dan pendampingan hukum gratis
- Litigasi strategis untuk mendorong reformasi kebijakan
- Publikasi riset hukum dan opini publik
- Advokasi terhadap kasus-kasus strategis
“Dengan riset dan dukungan akademik, kampus bisa mengawal kasus yang menyangkut kepentingan masyarakat luas,” tambahnya.
Belajar dari Korea Selatan
Sebagai pembanding, Amira menyebut Anti-Corruption and Civil Rights Commission di Korea Selatan sebagai contoh lembaga yang berhasil menjaga integritas dan memberantas korupsi.
“Meski sistem hukum kita berbeda, prinsip transparansi dan partisipasi publik mereka bisa kita adopsi di Indonesia,” tutupnya.
Fenomena #JusticeFor mencerminkan krisis kepercayaan masyarakat terhadap sistem hukum. Diperlukan pembenahan menyeluruh, mulai dari transparansi, independensi aparat penegak hukum, hingga peran aktif masyarakat sipil dan lembaga pendidikan dalam pengawasan. (adi/hdl)